Saturday, January 5, 2013

Hujan

Seringkali hujan memaksamu berhenti sejenak. Diam dan menunggu. Menatap bulirnya yang berjatuhan. Sesekali, dalam penantian hujan, kamu bertemu aku. Sesekali, kamu bertemu pekerjaanmu dan deadline yang menunggu. Sesekali kamu bertemu orang-orang rumah yang menantimu. Sesekali kamu bertemu mereka yang kekurangan di sekitarmu. Tapi yang paling kusuka dari penantian hujan adalah waktu-waktu ketika kamu bertemu kamu. Dirimu sendiri.

Pak Tani dan Nelayan

Dahulu kala kamu mungkin seorang petani, lahir dari suku petani, dengan sistim tani yang teratur seperti barisan padi, terarah sesuai prosedur seperti urut-urutan bajak bibit tuai gabah hingga beras.

Sementara leluhurku dahulu mungkinlah seorang nelayan. Berkelana kesana kemari tanpa aturan yang jelas. Pintar menyesuaikan diri dengan musim. Pandai menenangkan diri dengan badai. Dengan cuaca yang tidak menentu.

Mungkin sejak dulu kita memang berasal dari dua kubu berbeda. Pak tani tidak pernah memaksa nelayan bertani. Nelayan tidak pernah menyeret petani ke laut. Tak perlu dipaksakan sama, karena dua kubu tersebut menghasilkan kelengkapan yang kini tersaji manis di meja makan malammu:

nasi dan ikan.

Cahaya.

Ada orang yang selalu mudah terpikat pada cahaya. Sebut saja aku. Semalam aku terpikat pada supermoon yang sinarnya memantul di laut. Tadi sewaktu menyusuri Jakarta, aku terpikat pada gemerlap lampu-lampu kota. Di pedalaman malam, aku terpikat pada bintang-bintang. Pertemuan dengan kunang-kunang pasti membuat kegirangan. Bahkan cahaya lilin ketika mati lampu juga mempesona.

Maka, ketika bertemu pijar cahaya matamu, ingin kukatakan sekali lagi:
“Ada orang yang selalu mudah terpikat pada cahaya. Sebut saja aku.”

Ulang Tahun.


17th umurnya kini, semua orang mengingatnya. Berbondong-bondong ingin memberikan hadiah. “Mau hadiah apa?” kata setiap orang. Sebuah perhelatan akbar digelar. Berbagai canda tawa riang memenuhi ruangan. Kado-kado mewah diterimanya. Semua wajar adanya, hingga kebisingan pun usai.

Malu-malu, gadis tersebut mengajukan pinta pada Tuhannya:

“Tuhan, aku ingin sepasang telinga yang benar-benar mendengarkan..”

Dan sunyi menjadi tempat yang paling tepat untuk bersembunyi.

Melati Genius


Kalau kau mencari-cari namanya di duniamu yang selebar 11 inchi, ia mungkin tidak pernah ditemukan. Tapi percaya, bahwa jejaring dunia maya sejauh ini masih belum menjangkau hal-hal tertentu meski perkembangbiakan mereka lebih pesat dari semua monster yang bisa kau bayangkan. Hanya, nama itu, tidak akan pernah ada.

Sebaris nama yang saya kenal, Melati Genius, terkenal sejak di bangku sekolah. Namanya yang mewakili kehidupan indah sederhana: Melati, bersanding dengan level kepintaran yang homerun, di luar kotak kebiasaan: Genius. Pernah saya tanyakan, nama itu memang tertulis pada akta lahirnya, meski mungkin kini kau kembali meragukan apa namanya benar pernah tertulis di kelurahan, hanya karena sebaris nama itu tidak ditemukan di kotak pencari dunia maya.

Melati Genius, seingat saya, adalah siswi terpandai di kelasnya, pintar bergaul, senang memecahkan masalah apapun yang diutarakan padanya. Saya ingat ketika kegiatan OSIS yang mendadak kehabisan dana di H-3 dan nyaris batal, Melati Genius berhasil mengatasinya. Ia mengkalkulasi jumlah dana yang dibutuhkan, berinisiatif melakukan presentasi orangtua murid di rumah-rumah mereka, mendatangi juragan-juragan pasar kota untuk menyewa lapak di kelas-kelas yang disulap menjadi bazaar dadakan, dan voila beberapa jam sebelum kegiatan dimulai, dana yang dibutuhkan sudah terpenuhi, bahkan sisanya bisa dipakai hura-hura perpisahan panitia pada masa itu. Sungguh, jika kamu masih berseragam sekolah kejadian tersebut membuat lidahmu berdecak kagum. 

Melati Genius, pada masanya tampil memikat, dengan baju yang bersih seolah benar dari kalangan berada. Beberapa kali ditawari olimpiade, namun kecerdasannya terlalu melampaui semua bidang, sehingga, percaya atau tidak sejak remaja dahulu ia sudah ditawari menjadi konsultan Olimpiade. Siswa-siswa di sekolah saya yang ikut olimpiade berlatih padanya, mendiskusikan soal-soal yang amat sulit, teramat sulit. Maka, di masa Melati Genius menjadi siswa sekolah negeri tersebut, ikut harum lah nama sekolah yang tadinya tidak pernah disebut-sebut. Sejak masa itu, sekolahku menjadi sekolah terbaik di kotanya, bahkan sampai kini, ketika anakku tadi pagi berpamitan dengan memakai badge sekolah yang sama.

Bagaimana bisa, perempuan dengan kecantikan dan kecerdasan yang rupawan seperti Melati Genius tidak tercatat dalam tulisan apa saja di dunia maya, itu sungguh suatu pertanyaan. Meski semua orang tahu dan bersedih hati ketika belum genap kelas tiga SMA, Melati Genius tidak lagi melanjutkan sekolahnya. Ia memutuskan menikahi pria yang dicintainya dan melanjutkan kehidupan jauh dari hingar bingar kota.

Satu kejadian yang paling melekat antara saya dan Melati Genius. Suatu hari, saya tengah menanyakan sepuluh soal Matematika padanya, ia membantu menjelaskan lima soal tersulit. Saya desak lagi, dan karena ia memang senang membantu, ia jelaskan lagi penyelesaian soal lainnya. Namun tetap saja, ia sisakan satu soal termudah. Terhadap satu soal itu, mau saya desak bagaimanapun ia tetap menggeleng. “Itu terlalu mudah, Laksmi, terlalu mudah.”

Apa yang terjadi pada Melati Genius membuat saya membayangkan dirinya pada waktu itu: Muda, Bergairah, Digemari, namun menghentikan begitu saja mimpi-mimpinya, melalui hari-hari yang sederhana di desa tempat tinggalnya. Bangun pagi, menyediakan sarapan, bersih-bersih, menyapu, mencuci, menyambut suaminya, dan kembali terbangun di esok pagi; entah bagaimana jadinya. 

Mungkin saja, kehidupan indah yang ia lalui di desa sebagai seorang istri terlalu sederhana baginya. Mungkin ia terlalu asyik dengan dunia kecilnya hingga lupa peran penting yang juga dinanti-nanti masyarakat di sekitarnya. Mungkin dirinya sendiri lupa, bahwa hal-hal yang terlalu mudah adalah tugas tersulit bagi seorang Melati Genius.