Friday, October 29, 2010

akhir.

I.
merah. abu-abu.
di tepian sana, pasir pesisir mulai menghitam.
lumpur menebal.
air meninggi.
pepohonan layu kepanasan.

II.
tidak pernah senyaman ini.
musik yang mengalun merdu.
makanan paling lezat di dunia.
sofa-sofa terbaik.

III.
sebatang kara. nestapa.

IV.
denting piano paling indah.

V.
hilang. ditemukan.
tidak ada: detak. udara. nyawa.
ada: nama.

VI.
kabar telah sampai.
musik berhenti.
nama dikenali.

VII.
senyuman. ayahku wakil negara.
aku?

VIII
tertawa. anakku relawan.
aku?
.
.
pramusaji hilir mudik dengan ramahnya. senyum ditebar mempesona. menghampiri bapak, yang masih tercenung dengan ponselnya. tanpa firasat. tidak pernah tahu apa-apa.

"Ada lagi yang bisa saya bantu, pak?" si-senyum-manis tersenyum manis. diam, menunggu.

makanan ini terlalu aneh jika tidak ada rasanya.
bapak mengunyah. kaku. tersenyum. kaku. menatap. kaku:

"tolong.." katanya.
"tolong bantu saya untuk bisa menangis lagi."


*ditulis untuk mengenang korban relawan Merapi 2010

Tuesday, March 16, 2010

sejak tadi pagi.

si teman lama sudah di hadapan. pesan singkat masih di genggaman. tidak lewat hp, tapi celah pintu. secarik kertas yang berbunyi:
"mari bertemu kopi. sudah lama tidak jumpa."

di balik pintu, matanya menatap jenaka, seperti dulu.
"saya..."
kertas-kertas berserakan menatap saya. tesis yang dikerjakan malah berbalik mengerjai saya.
"ayolah, jangan terlalu berat menghadapi hidup. beri hatimu sedikit ruang untuk senang."
ah, dia masih seperti dulu. tidak peduli betapa kagetnya saya dengan pertemuan ini, kedatangannya yang tiba-tiba, dan ajakannya minum kopi. meski dalam pertemuan dua lelaki yang bersahabat lama, tentu saja wajar ditengahi kopi.

secangkir kopi membawa pada obrolan sederhana. tidak, jangan bayangkan tentang dunia. si mata jenaka ini mengingatkan kembali bagaimana cara saya tertawa.

"kemana saja kamu?"
saya melontarkan pertanyaan percuma. si mata jenaka selalu datang dan pergi. pengusaha sukses satu ini entah pergi ke belahan dunia mana lagi. dulu ia juga begitu. namun, ketika kecil paling jauh perginya hanya sampai pasar pagi.

"dulu kamu juga selalu mengetuk pintuku, ingat?"

dia tertawa. saya tersenyum simpul. berhadapan dengannya saya selalu ingat, malam-malam dimana jendela kamar terketuk dari luar. anak laki-laki yang menggigil terusir dari rumahnya.

"tubuhmu selalu biru-biru."
saya melanjutkan tidak enak hati. tapi lagi-lagi ia tertawa.
"yang saya heran kenapa setiap sampai di kamarku kamu tidak pernah menangis."
saya sungguh tak habis pikir.
"hahaha..."
responnya sungguh membuat saya merasa bicara dengan mesin tertawa.
"sebagai gantinya, kamu malah menceritakan berbagai hal lucu padaku sepanjang malam."
dari mata jenaka dialah, saya melihat dunia.

semakin saya berkata, tawanya semakin keras. saya protes. ini seperti rumus humor reuni, saya bilang. Hal-hal yang tidak terlalu lucu akan menjadi (X) kali lipat lucunya ketika diceritakan kembali setiap (X) tahun kemudian. Saya kemudian mengambil secarik kertas tisu dan pulpen menu.

Begini rumusnya:
HTL x Kenangan = (X) kelucuan
*HTL=Hal Tidak Lucu
*(X) = jeda tahun diceritakan

ia malah tertawa lagi, jauh lebih keras.
"kau terlalu banyak beristri dengan rumus, kawan.."
lagi. dan lagi ia tertawa. beberapa pengunjung menoleh pada kami. ia tidak peduli, tapi kemudian tawanya mereda.

susah payah ia mengambil nafas di sela tawanya untuk akhirnya berkata.
"ha.. kamu tahu hal yang paling lucu?"
tanyanya. saya diam, ini retoris. sebentar lagi ia pasti melanjutkan tanpa menunggu saya berkata ya atau tidak.

ia tertawa kecil.
"kemanapun saya pergi, saya tidak pernah bisa menjawab hal ini."

ia mengangkat cangkir kopi sambil menggeleng kecil keheranan.
"entah kesalahan macam kanak-kanak apa yang telah saya lakukan.."
lagi-lagi ia tertawa kecil. kali ini terdengar seperti ironi.

"nyatanya.."
ia meneguk kopi sejenak sebelum melanjut.
"kesalahan yang kita lakukan ketika dewasa, sebetulnya jauh tak terhitung dibandingkan ketika kita masih kecil."
kali ini ia menatap lurus padaku. bibirnya tersenyum, tapi tidak lagi tertawa.

"...."

"ya.. saya setuju. setiap orang rasanya seperti itu."
sahutku pelan. sisa teh hangat kuhabiskan cepat-cepat. secepat keinginanku agar pertemuan hari ini berakhir.

"sampai bertemu lagi?"
tanpa beranjak di kursi, ia mengucapkan salam sambil mengajukan secangkir kopi.
"senang bertemu denganmu" kataku kikuk.

sambil berjalan, samar-samar teringat olehku kertas tesis penuh coretan yang bertebaran di lantai. juga anakku. juga sepasang bola mata yang ketakutan.

serta nasibnya yang terkunci di kamar mandi, sejak tadi pagi.