Thursday, April 23, 2009

adam dan hawa telah ada.

Mereka adalah asing yang berkenalan di negeri yang asing dalam keadaan terasing. Masing-masing berjabatan dan mereka berjabat tangan. Bersama dalam satu perjalanan instan dengan tujuan perusahaan. Lalu duduk bersisian mengalir dalam obrolan. Detik, menit, jam, relatif hanya mereka yang merasa. Tapi lalu yang dirasa adalah nyaman.

o, mengapa tatapmu membuatku resah.
o, mengapa senyummu menebarkan panah.
o, mengapa sentuhmu menjadikanku patah.


Seorang Adam dan Hawa telah lama ada menggenapi mereka.
Masihkah juga buah pohon terlarang begitu menggiurkannya?

Friday, April 17, 2009

pintu tertutup.

1
"Oh, Gay!" Dyna melihat penuh arti pada dua sosok lelaki.
"Kok kamu nebak gitu?" Ibunya berkomentar.
"Uh Ibu tidak tahu saja dunia sekarang sudah seperti apa."

"Oh ya?, seram sekali."


2
"Halo, tante.." Dia akhirnya datang.
"Eh, Sayang.. Tante kangen sekali. Sudah pulang dari KKN nya? Gimana kabarnya?" Dia orang terdekatnya, kesayangan ibunya. Hati Dyna ikut senang, diajaknya menuju ruangan. Pintu tertutup agar cerita semakin nyaman.

Mereka bersandaran berpegangan tangan.


Tapi lalu bergumul.
lalu bercumbu.
lalu tatap terpaut oleh satu.

Ada cinta yang tulus.
Ada desiran yang halus.
Ada rindu yang terus menerus.

Mereka berdua sebentar lagi hangus.


3
"Bagaimana bisa ibumu tidak tahu?" Dimainkannya rambut Dyna.
"Dia tidak sadar dunia sekarang seperti apa." Kerling Dyna nakal.

"Oh ya?, Seram sekali."

Si Cantik tersenyum menang. Mereka hangus sekali lagi.

ketika hatimu beku dan hujan dihatiku.

Oh ya tentu saja aku masih ingat percakapan kita di bandara saat itu di hari itu. Hari ketika kamu mengejar mimpi-mimpi kamu ke Belanda.

"Belanda itu enak katanya, sayang.. Kita bisa bersepeda dimana-mana di sana. Kamu suka bersepeda kan?" Tanyamu dengan mata cantik yang berbinar.

Aku tersenyum, sambil menyetir pandanganku lurus. Ah, seperti kamu tidak tahu saja, mana bisa aku melawan binar matamu. Mana bisa aku menahan keinginanmu jika itu bisa membuatmu bahagia.

"Jadi kamu berangkat?" Aku memastikan hal yang tidak perlu dipastikan.

Bandara selalu dipenuhi oleh orang yang beragam. Mereka yang sedih ditinggal, mereka yang sukacita bertemu, mereka yang sendirian, mereka yang merindukan. Bandara adalah titik temu kehidupan, seperti titik dimana kita dipenuhi perpotongan antara lingkaran kehidupan antara satu dan lainnya. Seperti titik pertemuan kau dan aku. Seperti titik perpisahan kau dan aku.

Aku masih ingat air mata hangat yang menjaluri pipimu dan merebahkannya di atas bahuku. Aku masih ingat ketakutanmu akan hubungan kita yang mestinya tidak perlu kamu takutkan. Aku selalu ada, diam, tidak kemana-mana untuk kamu. Melihatmu tumbuh, terbang, menari bersama impianmu. Jadi, kamu tidak perlu takut. Yang kamu takutkan harusnya adalah dirimu sendiri.

...
Aku tidak heran, sungguh. Dan aku tidak marah, sungguh. Meski kamu ada janji tentang jarak yang tidak akan membuat kamu luluh.

Tapi aku tahu, dari dulu. Seperti tanyaku padamu di hari itu:

Jika nanti akhirnya kamu bertemu salju,
Akankah kamu masih merindukan hujan?

ketiga kalinya.

"Besok saya ngulang ujian untuk ketiga kalinya" ujar si lelaki.
"Lah emang sebelumnya kenapa?" kata si perempuan.
"Yang pertama saya bangun kesiangan.." ujarnya ringan.
"Lalu yang kedua?" Timpal yang lain.
"Yang kedua saya ngga tau kalau ada ujian, hahahaha" ujar si lelaki, yang entah kenapa terdengar bangga.

Mereka berdua adalah teman si lelaki lain yang ada di sana juga. Yang juga mendengarkan, tapi tidak ikut tertawa, ia justru tersenyum. Miris. Masih diingatnya sms dari ibunya pagi itu. Sms yang ketiga kalinya.

A, pulang saja. Gantikan Bapak.
Bapak sakit makin parah.
Adik-adik sudah nunggak uang sekolah.

Thursday, April 16, 2009

thanatos.

1
Namaku Rudi. Aku tinggal seorang diri. Aku punya banyak kenalan. Hidungku mancung, tapi itu tidak penting. Rambutku ikal, itu juga tidak penting. Karena seberapa tampan pun aku, jarang ada wanita yang jadi seleraku. Bukan aku merendahkan, sungguh. Tapi kebanyakan sekedar lewat saja. Tidak banyak pilihan.

2
Rudi Nuhbi namaku. Mapan. Tampan. Biasa. hidupku biasa saja. Hiburan malam, banyak teman, sesekali mampir di pengajian. Datang untuk menertawakan, lalu meragukan. Ah, kemana Tuhan?
Bermain Anagram adalah hobiku. Mengacak untuk mencari makna lain sesukaku. Ah, mengapa hidup tidak boleh berantakan?

3
Aku jarang bangun pagi, itu yang membuat aku menjadi mahasiswa paling lama di kampus ini. Salah mereka jika sekolah tidak dimulai pada malam. Kalau iya, pasti saya rajin kuliah dan bukan ke tempat hiburan.

4
Semua orang punya intuisi. Aku percaya. Lalu ada pula yang bernama insting, seperti kucing. Aku pernah bertanya ketika melihat kucingku meminum minyak goreng banyak-banyak ketika ia sedang hamil tua.
"kenapa dia minum itu?" itu tanyaku waktu ku kecil.
"agar persalinannya lancar." kata orang dewasa di sebelahku.
"bagaimana dia bisa tahu?" balasku, bukankah mereka tak punya akal?.
"sekedar insting, Rudi.." jawabnya.
Begitukah? Samakah halnya jika kucing tiba-tiba pergi dari rumah ketika dia merasa mau mati? Insting kah itu?

5
Rudi kecil berada di pintu angkutan umum berpegangan. Ketika angkutan tersebut oleng, Rudi berpegangan semakin erat, membuat dirinya tidak terjatuh. Dari situ dia berpikir bahwa, setiap anak kecil bisa menjaga dirinya sendiri, dan kebawelan orang tua akan kata "jangan:" harusnya bisa diminimalisir. Ah, itu namanya insting juga kan? Insting hidup yang semua manusia punya. Tapi mereka tidak sadar, ada insting lain yang setiap mereka punya: tentang kematian.

6
Thanatos, lalu aku berkenalan denganmu. Di atas kebosanan hidup. Stagnansi. Rutinitas. Kosong. Hampa. Membuatku ingin terbang begitu saja. Membawaku setinggi ini. Menuju pemandangan beton-beton dan lalu lalang mobil kota. Lalu angin berdesir, membisikan tanya. Aku masih mencari makna. Jika tidak kudapat dalam hidup, adakah dia bersembunyi dalam mati?

Insting itu memanggilku dengan sapa mautnya. Mengajakku mengakhirinya dengan anagram namaku: Rudi Nuhbi.