Tuesday, May 7, 2013

Rindu Kebanyakan


Sisa-sisa suara ambulan berdenging di kepala. Lelah. Pasien hari ini ada-ada saja, belum kelar jam sembilan pagi sudah bermacam-macam yang datang. Sebal rasanya mengobati hal-hal yang disebabkan kebodohan mereka sendiri. Tak pernah terbayang menjadi dokter –bahkan masih asisten saja- begitu menjengahkannya seperti ini. Kamu harus siap sedia menggadaikan waktumu untuk menyelesaikan kesalahan orang-orang bodoh ini. Ya menjahit lengan yang mau putus lah, menyulap paru-paru yang mereka rusak lah, sampai yang paling menjijikan kamu harus membetulkan akibat dari kelamin yang mereka salah-gunakan. Huh.

Dimana mulianya menjadi dokter?

**

Ruang tunggu sudah ramai sekali jam segini. Rumah sakit selalu menjadi tempat yang tidak menyenangkan. Buatku tempat ini adalah pembuangan waktu. Lihat saja berderet pasien yang mau membuang waktunya berjam-jam untuk bertemu beberapa menit dengan dokter mereka. Lihat saja para dokter yang berjas putih itu menghabiskan waktunya berjam-jam untuk mengobati penyakit-penyakit yang sama. Penyakit masyarakat. Masyarakat di sini memang bikin geleng-geleng kepala. Rasanya bukan badan mereka yang sakit, tapi hati, jiwa, dan otaknya!

Sibuk memperhatikan yang lain tanpa sadar pintu yang kutunggu-tunggu telah terbuka. Di pintunya tertulis sederet nama penuh gelar, dengan nama belakang yang sama denganku. Ya, Ayahku. Ia keluar dari ruang kerjanya sambil mengacungkan sepucuk surat.

“Liza,” katanya, “Masuk.” Ujarnya pendek.

Aku mengikutinya memasuki ruang kerja. Apa yang disampaikan Ayah tentu berhubungan dengan surat yang dipegangnya. Kami duduk berhadapan sementara aku sibuk menyusun kata-kata untuk memberikan penjelasan yang tepat.

Tanpa banyak bicara, dan memang seperti itulah Ayah, ia menyodorkan selembar kertas dalam amplop tersebut. Fakta baru yang menyebalkan, jam kerja yang tidak jelas ini membuatmu mustahil jadi pemenang pertama sebagai penerima surat-surat di rumah. Kali ini Ayah pemenangnya, dan aku tawanannya.

“Sudah bosan jadi dokter?” kata-katanya singkat, tapi menusuk.

“Sejak awal aku kan memang .. “ susah payah untuk tidak emosi dengan Ayahku ini.

“Waktumu terlalu luang untuk dihabiskan membuat remeh temeh seperti ini.” Nadanya terlalu datar, tanpa berharap giliran dialogku masuk.

Ia menatapku lurus,

“Silahkan kamu pilih, menjadi seniman yang sebentar lalu terlupakan orang, atau menjadi seperti Ayah, satu-satunya orang di negeri ini yang paling diandalkan mengobati penyakit darah.”

“Ayah berharap kamu cepat ambil spesialis. Jangan jadi orang kebanyakan, apalagi menjadi seniman. Berapa banyak kamu pikir orang di negeri ini yang bisa melukis?”

Percuma. Rasanya percuma. Surat tersebut menyaksikan bisu. Tertulis dengan bahasa asing, undangan untuk memamerkan lukisan di ajang internasional. In-ter-na-si-o-nal. Tapi percuma. Surat yang sejak kami berhadapan tidak lagi tersentuh.

Akupun sulit menyentuhkan kata-kata pada ingatanku mengenai gambar lukisan-lukisan yang kukirimkan beberapa bulan lalu. Di antara rentetan kata-katanya, aku hanya berujar lirih, mewakili semua bisuku. Mewakili semua rasa jengahku.


“Ayah, apa ayah tidak rindu melukis?”


***

Lukisan-lukisan itu, memang kutemukan di gudang. Begitu bernyawa dibanding lukisan diam-diam yang kubuat. Dulu, pelukisnya masih belum dijejali gelar. Dan perempuan dalam lukisan itu, ibuku, masih memandangnya penuh cinta.


Thursday, March 7, 2013

Cinta Analog

Mereka berkenalan tepat satu menit tiga puluh tujuh detik sejak lengan mereka bersinggungan. Tidak ada definisi yang terucap, hubungan mereka berlalu begitu saja. Masing-masing menjalani masing-masing. Tapi ada, selalu ada, waktu untuk bersama. Kadang waktu tersebut seperti detik mengunjungi menit. Kadang begitu lama seperti menit meniti hati-hati hingga tiba di penghujung jam.

Sebut saja ini kisah cinta si pemakai jam di lengan kiri dengan si pemakai jam di lengan kanan yang berakhir bisu. Ketika akhirnya si pemakai jam di lengan kiri pergi, pun tidak ada perpisahan yang terucap. Pun rindu. Pun kehilangan. Detik masih berlalu. Menit masih malu-malu melaju.

Hanya tanggalan yang menunggu diputar lebih maju dua hari sejak Februari kabisat di tahun itu.

Saturday, January 5, 2013

Hujan

Seringkali hujan memaksamu berhenti sejenak. Diam dan menunggu. Menatap bulirnya yang berjatuhan. Sesekali, dalam penantian hujan, kamu bertemu aku. Sesekali, kamu bertemu pekerjaanmu dan deadline yang menunggu. Sesekali kamu bertemu orang-orang rumah yang menantimu. Sesekali kamu bertemu mereka yang kekurangan di sekitarmu. Tapi yang paling kusuka dari penantian hujan adalah waktu-waktu ketika kamu bertemu kamu. Dirimu sendiri.

Pak Tani dan Nelayan

Dahulu kala kamu mungkin seorang petani, lahir dari suku petani, dengan sistim tani yang teratur seperti barisan padi, terarah sesuai prosedur seperti urut-urutan bajak bibit tuai gabah hingga beras.

Sementara leluhurku dahulu mungkinlah seorang nelayan. Berkelana kesana kemari tanpa aturan yang jelas. Pintar menyesuaikan diri dengan musim. Pandai menenangkan diri dengan badai. Dengan cuaca yang tidak menentu.

Mungkin sejak dulu kita memang berasal dari dua kubu berbeda. Pak tani tidak pernah memaksa nelayan bertani. Nelayan tidak pernah menyeret petani ke laut. Tak perlu dipaksakan sama, karena dua kubu tersebut menghasilkan kelengkapan yang kini tersaji manis di meja makan malammu:

nasi dan ikan.

Cahaya.

Ada orang yang selalu mudah terpikat pada cahaya. Sebut saja aku. Semalam aku terpikat pada supermoon yang sinarnya memantul di laut. Tadi sewaktu menyusuri Jakarta, aku terpikat pada gemerlap lampu-lampu kota. Di pedalaman malam, aku terpikat pada bintang-bintang. Pertemuan dengan kunang-kunang pasti membuat kegirangan. Bahkan cahaya lilin ketika mati lampu juga mempesona.

Maka, ketika bertemu pijar cahaya matamu, ingin kukatakan sekali lagi:
“Ada orang yang selalu mudah terpikat pada cahaya. Sebut saja aku.”

Ulang Tahun.


17th umurnya kini, semua orang mengingatnya. Berbondong-bondong ingin memberikan hadiah. “Mau hadiah apa?” kata setiap orang. Sebuah perhelatan akbar digelar. Berbagai canda tawa riang memenuhi ruangan. Kado-kado mewah diterimanya. Semua wajar adanya, hingga kebisingan pun usai.

Malu-malu, gadis tersebut mengajukan pinta pada Tuhannya:

“Tuhan, aku ingin sepasang telinga yang benar-benar mendengarkan..”

Dan sunyi menjadi tempat yang paling tepat untuk bersembunyi.

Melati Genius


Kalau kau mencari-cari namanya di duniamu yang selebar 11 inchi, ia mungkin tidak pernah ditemukan. Tapi percaya, bahwa jejaring dunia maya sejauh ini masih belum menjangkau hal-hal tertentu meski perkembangbiakan mereka lebih pesat dari semua monster yang bisa kau bayangkan. Hanya, nama itu, tidak akan pernah ada.

Sebaris nama yang saya kenal, Melati Genius, terkenal sejak di bangku sekolah. Namanya yang mewakili kehidupan indah sederhana: Melati, bersanding dengan level kepintaran yang homerun, di luar kotak kebiasaan: Genius. Pernah saya tanyakan, nama itu memang tertulis pada akta lahirnya, meski mungkin kini kau kembali meragukan apa namanya benar pernah tertulis di kelurahan, hanya karena sebaris nama itu tidak ditemukan di kotak pencari dunia maya.

Melati Genius, seingat saya, adalah siswi terpandai di kelasnya, pintar bergaul, senang memecahkan masalah apapun yang diutarakan padanya. Saya ingat ketika kegiatan OSIS yang mendadak kehabisan dana di H-3 dan nyaris batal, Melati Genius berhasil mengatasinya. Ia mengkalkulasi jumlah dana yang dibutuhkan, berinisiatif melakukan presentasi orangtua murid di rumah-rumah mereka, mendatangi juragan-juragan pasar kota untuk menyewa lapak di kelas-kelas yang disulap menjadi bazaar dadakan, dan voila beberapa jam sebelum kegiatan dimulai, dana yang dibutuhkan sudah terpenuhi, bahkan sisanya bisa dipakai hura-hura perpisahan panitia pada masa itu. Sungguh, jika kamu masih berseragam sekolah kejadian tersebut membuat lidahmu berdecak kagum. 

Melati Genius, pada masanya tampil memikat, dengan baju yang bersih seolah benar dari kalangan berada. Beberapa kali ditawari olimpiade, namun kecerdasannya terlalu melampaui semua bidang, sehingga, percaya atau tidak sejak remaja dahulu ia sudah ditawari menjadi konsultan Olimpiade. Siswa-siswa di sekolah saya yang ikut olimpiade berlatih padanya, mendiskusikan soal-soal yang amat sulit, teramat sulit. Maka, di masa Melati Genius menjadi siswa sekolah negeri tersebut, ikut harum lah nama sekolah yang tadinya tidak pernah disebut-sebut. Sejak masa itu, sekolahku menjadi sekolah terbaik di kotanya, bahkan sampai kini, ketika anakku tadi pagi berpamitan dengan memakai badge sekolah yang sama.

Bagaimana bisa, perempuan dengan kecantikan dan kecerdasan yang rupawan seperti Melati Genius tidak tercatat dalam tulisan apa saja di dunia maya, itu sungguh suatu pertanyaan. Meski semua orang tahu dan bersedih hati ketika belum genap kelas tiga SMA, Melati Genius tidak lagi melanjutkan sekolahnya. Ia memutuskan menikahi pria yang dicintainya dan melanjutkan kehidupan jauh dari hingar bingar kota.

Satu kejadian yang paling melekat antara saya dan Melati Genius. Suatu hari, saya tengah menanyakan sepuluh soal Matematika padanya, ia membantu menjelaskan lima soal tersulit. Saya desak lagi, dan karena ia memang senang membantu, ia jelaskan lagi penyelesaian soal lainnya. Namun tetap saja, ia sisakan satu soal termudah. Terhadap satu soal itu, mau saya desak bagaimanapun ia tetap menggeleng. “Itu terlalu mudah, Laksmi, terlalu mudah.”

Apa yang terjadi pada Melati Genius membuat saya membayangkan dirinya pada waktu itu: Muda, Bergairah, Digemari, namun menghentikan begitu saja mimpi-mimpinya, melalui hari-hari yang sederhana di desa tempat tinggalnya. Bangun pagi, menyediakan sarapan, bersih-bersih, menyapu, mencuci, menyambut suaminya, dan kembali terbangun di esok pagi; entah bagaimana jadinya. 

Mungkin saja, kehidupan indah yang ia lalui di desa sebagai seorang istri terlalu sederhana baginya. Mungkin ia terlalu asyik dengan dunia kecilnya hingga lupa peran penting yang juga dinanti-nanti masyarakat di sekitarnya. Mungkin dirinya sendiri lupa, bahwa hal-hal yang terlalu mudah adalah tugas tersulit bagi seorang Melati Genius.